Dari masa lalu, kita kembali ke pertempuran antara kelompok kecil Nyi Ratu Purnamasari dengan Pasukan Banten Jaya Antea.
Epik tentang cinta, pengkhianatan, keyakinan dan peperangan terus berlanjut. Jaya Antea yang masih memendam bara cinta terhadap Nyi Ratu Purnamasari terus membuntuti rombongan kecil ini. Di suatu tempat di Bantargadung dua kelompok yang dari segi jumlah tidak seimbang terus bertempur sampai malam menghentikan pertumpahan darah itu. Pada malam itulah terjadi dialog antara Jaya Antea dengan Ki Kalang Sunda,
Jaya Antea : " Rakean.... kaula datang rain eudeuk nangtang perang... ! Tapi ngajak dia hirup dina jaman anyar ambeh dimana jaga, anggeus paeh hirup deui, nguenah ngeunah dipirig bidadari nu gareulis.... "
( Rakean... aku datang bukan hendak menantang perang... ! Tapi mengajak kamu hidup di jaman baru. Agar pada saat dibangkitkan nanti setelah mati, kita dikelilingi bidadari teramat cantik..... )
Kalang Sunda : " Kaula hanteu butuh ku bidadari ! Montong teuing engke di paeh mudu maraban bikang opat puluh. ayeuna oge di eukeur hirup pikeun kaula sorangan oge geus sakitu susah payahna ! "
( Aku tidak butuh bidadari. Kebayang aku harus memberi makan 40 bidadari. Buat makan sekarang saja sudah begitu susahnya ! )
Dialog antar dua orang sakti Pajajaran ini memang lucu juga. Satu karuhun dua keyakinan bisa membuat sebuah dialog menjadi tidak nyambung. Namun hal lain yang dapat kita tangkap, masalah keyakinan ini memang menjadi isu panas saat itu.
Singkat cerita, pertarungan terus berlangsung hingga pantai selatan. Di tempat ini Rahyang Kumbang Bagus Setra gugur ditangan Jaya Antea. Namun di tempat ini juga Jaya Antea tewas di tangan Kalang Sunda. Ini pertempuran legendaris karena keduanya merupakan pendekar terkemuka di jamannya. Tempat dimana Kalang Sunda dan Jaya Antea bertempur diabadikan menjadi tempat bernama Jayanti, nama itu dipakai hingga kini.
Ya, tidak banyak terungkap bahwa kisah keruntuhan Pajajaran sebetulnya diwarnai dengan kisah cinta segitiga, pengkhianatan seorang ponggawa terhadap negaranya, gesekan keyakinan, hingga pertempuran sampai akhir.
Tetapi menuduhkan keruntuhan Pajajaran pada cinta dan pengkhianatan semata tidaklah bijaksana. Sepeninggalan Sri Baduga Maharaja, memang tidak lagi lahir raja setangguh beliau. Sebelum Raga Mulya bertahta, Pajajaran telah dilanda mendung tak berkesudahan. Rakyat banyak yang menderita kelaparan. sementara Raja Nilakendra abai dengan apa yang sedang terjadi. Beliau lebih sibuk dengan urusan kebatinan dan proyek mempermegah istana. Saat itu Pakuan sudah mulai banyak ditinggalkan penduduknya.
Kehadiran Prabu Sedah Raga Mulya Suryakancana sudah tidak mampu lagi perubahan jaman. Ditambah dengan... cinta, pengkhianatan, perbedaan keyakinan,... dan akhirnya peperangan itu yang menyudahi segalanya.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar