Jalan Capitol Soekaboemi tempo doeloe |
Maut hanya beberapa inci siap menjemput. Para penonton menahan nafas. Tiba tiba sebuah terjangan membuat golok terpental, melayang di udara, berkilau disinar sang Surya. Wangsa Suta berdiri megah. Rambutnya melambai lambai diterpa angin. Tangan kirinya memegang Pundak Arum. Para pengawal terkesima sesaat. Namun segera mereka kembali bersiap.
Dengan lirih, Wangsa Suta berbisik lirih kepada Pundak Arum. Tunggulah aku di Gunung Parang, di bawah pohon paku berdahan lima dan condong ke selatan. Setelah itu duel seru terjadi. Wangsa Suta bergeming. Hari itu dia menunjukkan kedigdayaannya. Sang pendekar melangkah pergi dengan kepala tegak penuh kemenangan. Hatinya dipenuhi bunga, ingin segera bertemu dengan pujaan hati. Langkahnya dipercepat.
Gunung Parang, pohon paku berdahan lima, condong ke selatan. Namun Nyai Pundak Arum tak ada di sana. Wangsa Suta memanggil manggil. Hanya angin yang berdesau menjawab. Wangsa Suta terduduk lemas. Dia mengerti sesuatu telah terjadi.
Akhirnya dia menemui Sang Guru Resi Saradea. Sang resi arif berkata: Wangsa Suta, kamu tidak berjodoh di jaman ini, tapi mungkin di lain jaman. Tunggulah. Kelak bila Gunung Parang telah berkembang, maka akan lahir seorang wanita titisan Pundak Arum. Dia akan menjadi pembela kaum perempuan yang teraniaya. Bila wanita itu telah lahir, maka itulah jodohmu.
Dari hari itu, Wangsa Suta tidak pernah meninggalkan Gunung Parang. Dia setia menunggu titisan Pundak Arum. Sebagaimana visi Saradea, Gunung Parang memang terus berkembang dari masa ke masa. Jadi kalau 200 tahun kemudian, tahun 1815 de Wilde dianggap mendirikan Sukabumi, sesungguhnya bule ini hanya melanjutkan apa yang telah dirintis Wangsa Suta sekitar tahun 1600an.
Kemana sebenarnya Pundak Arum. Pundak Arum ternyata tertangkap dinas rahasia Kademangan. Dengan dibungkus karung, tubuhnya di bawa ke kepulauan Seribu, tepatnya pulau Putri. Dia menjadi tahanan pulau sampai ajal menjemput.
Di hari ini, siapa yang masih mengenal Wangsa Suta. Siapa yang tahu Gunung Parang adalah kilometer 0 kota Sukabumi. Ah, kita memang amnesia kalau menyangkut sejarah. Tidak heran kalau kita juga galau dengan jati diri kita.
(selesai)